Dalam Islam, ariyah artinya perkara pinjam-meminjam. Hal ini merupakan kebiasaan dan perkara lazim dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, tak semua orang dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Lantas, apa hukum dan rukun ariyah dalam Islam?
Secara definitif, ariyah berasal dari bahasa Arab yang artinya ganti pemanfaatan sesuatu kepada orang lain. Muhammad Abdul Wahab dalam Fiqih Pinjam Meminjam (2018) menuliskan bahwa ariyah adalah izin menggunakan suatu benda dari orang lain, tanpa imbalan, serta tidak mengurangi atau merusak benda tersebut.
Ariyah dapat melibatkan benda apa pun selama tergolong halal. Pinjam-meminjam dapat dalam bentuk uang, tanah, kendaraan, dan benda-benda lainnya. Berdasarkan paham tersebut, sebagian orang menyamakan perkara ariyah sebagai aktivitas berutang.
Seiring berlalu waktunya, perkara ariyah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Kini, ada institusi keuangan yang bertugas menangani urusan pinjam-meminjam. Sebagai misal, lembaga koperasi simpan-pinjam, bank-bank syariah, atau lembaga muamalah lainnya.
Hukum Ariyah dalam Islam
Secara umum, hukum asal pinjam-meminjam atau ariyah adalah mubah atau boleh dilakukan. Hal ini tergambar dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 15:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya,” (QS. Al-Maidah [5]: 2).
Akan tetapi, hukum mubah itu berubah menjadi sunah apabila pinjam-meminjam dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan yang cukup penting, misalnya meminjam uang untuk biaya berobat.
Jika kebutuhan itu lebih mendesak lagi, hukumnya dapat menjadi wajib. Misalnya, meminjamkan pakaian untuk salat wajib, yang jika tidak dipinjami, orang bersangkutan tidak bisa salat karena bajunya najis.
Hukum ariyah juga dapat menjadi haram apabila pinjam-meminjam barang untuk menjalankan maksiat, misalnya meminjam senjata untuk merampok.
Sementara itu, bagi orang yang meminjam barang, maka ia wajib mengembalikannya ke sang pemilik selepas barang itu dimanfaatkan.
Demikian juga dalam perkara utang, orang yang meminjam uang harus melunasinya ketika sampai tempo disepakati kedua belah pihak.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Pinjaman itu wajib dikembalikan dan orang-orang yang menanggung sesuatu harus membayar dan hutang harus ditunaikan,” (H.R. Tirmidzi).
Rukun Ariyah dalam Muamalah
Rukun adalah perkara pokok yang harus dipenuhi. Dalam hal ariyah, jika salah satu rukun ada yang gugur, akad pinjam-meminjam menjadi batal dan tidak sah.
Ubaidillah dalam buku Fikih (2020) menuliskan empat rukun ariyah yang wajib ada dalam akad pinjam-meminjam sebagai berikut:
Adanya mu’ir atau orang yang meminjami benda tersebut.
Adanya musta’ir atau orang yang meminjam benda tersebut.
Adanya musta’ar atau barang yang akan dipinjam.
Adanya sighat ijab kabul.
Shigat ijab kabul ini berupa permintaan izin untuk meminjam barang atau uang. Apabila seseorang bermaksud meminjam, sedang ia tak meminta izin atau tanpa ada shigat ijab kabul, hal itu bukan termasuk ariyah, melainkan pencurian.
Selain itu, barang yang dipinjam wajib dijaga kondisi dan kualitasnya. Si peminjam selayaknya merawat barang pinjaman tersebut seakan-akan merawat barang miliknya pribadi.
Hal ini tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Tanggung jawab barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu,” (H.R. Ibnu Majah).